Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan kejanggalan, ketidakwajaran dan kemahalan dalam mekanisme pembelian pesawat Sukhoi. Peremajaan dan pembaruan alutista itu diperkirakan merugikan negara sebesar US$ 78 Juta. Demikian disampaikan ICW pada konferensi pers yang digelar di kantor Imparsial, Jl Slamet Riyadi Raya No 19, Matraman Jakarta Timur, Senin (5/3/2012). (Foto: detikFoto/Rachman Haryanto)
5 Maret 2012, Jakarta: Adanya dugaan mark up pembelian pesawat tempur Sukhoi Su-30 MK2 memunculkan banyak kecurigaan berbagai pihak. Pengamat pertahanan Muradi ikut urun pendapat tentang adanya kejanggalan dari pembelian alat utama sistem senjata (Alutsista) TNI AU tersebut.
Dihubungi itoday via telepon, Senin (5/3), Muradi mengatakan, ada tiga kemungkinan yang bisa dilihat dari kasus pembelian Sukhoi tersebut. Pertama, pemerintah dan TNI tidak membeli dari tangan pertama. Kedua, memang ada mark up dari internal TNI sendiri dan Ketiga ada perbedaan harga tersebut, karena adanya fluktuasi harga dollar.
Dari ketiga kemungkinan tersebut, kemungkinan kedua karena adanya mark up adalah kemungkinan terbesar yang dapat terjadi.
“Saya melihatnya kasus Sukhoi ini lebih disebabkan dari kemungkinan nomor dua,” jelas Dosen yang mengajar di Fisip Universitas Padjajaran (Unpad), Bandung ini.
Muradi juga menilai, masalah mark up ini karena adanya kemungkinan keterlibatan calo internal. Entah itu di internal pemerintah (Kemhan) atau di internal TNI. Sebab, pasca di embargo oleh Amerika Serikat (AS), pemerintah dan TNI kesulitan mengadakan persenjataan dari luar negeri yang kebanyakan menggunakan jasa calo eksternal.
“Sejak Indonesia di embargo, pemerintah dan TNI kesulitan mengadakan persenjataan dari luar, dan itu juga mengubah pola pembelian Alutsista, yang dulunya selalu menggunakan jasa calo, beralih menjadi pendekatan G to G, sehingga jasa calo di luaran jelas mati,” paparnya.
Sialnya, selama ini TNI dan pemerintah memang selalu agak tertutup jika terkait dengan masalah pendanaan pembelian Alutsista ke publik. Sehingga ketika ada masalah seperti ini, maka publik langsung menilai ada mark up dalam proses pengadaan tersebut. Apalagi ditambah adanya praktek percaloan di kalangan internal pemerintah dan TNI.
“Calo atau broker internal jelas tidak kerja sendiri, ditambah lagi TNI belum bisa terbuka dalam banyak hal, justru memperkuat kemungkinan adanya mark up,” tegasnya.
Ini Dia Kejanggalan Pembelian Sukhoi Indonesia
Ribut masalah adanya kemungkinan mark up atas pembelian enam pesawat tempur Sukhoi Su-30 MK2 dari Rusia, turut mengundang Direktur Program Imparsial Al Araf untuk menyatakan pendapatnya.
Al Araf melihat terdapat indikasi permainan dalam proses pengadaan atau pembelian Sukhoi, khususnya terkait dengan kemahalan, ketidakwajaran dan kejanggalan harga pesawat yang tidak kecil jumlahnya itu.
"Pertama, mengapa pemerintah Indonesia (Kementerian Pertahanan) lebih memilih untuk menggunakan skema pembelian Sukhoi dengan sumber dana pinjaman luar negeri/kredit komersial, tidak menggunakan fasilitas state loan yang telah disediakan pemerintah federasi Rusia sebesar US$1 miliar?," kata Araf dalam jumpa pers di Kantor Imparsial, Jakarta, Senin (5/3).
Selain itu, Imparsial juga mempertanyakan kenapa harga pembelian Sukhoi bisa mencapai US$470 juta hingga US$500 juta untuk enam buah pesawat. Sedangkan pada pengadaan tahun 2010, nilai pembelian Sukhoi dari produsen yang sama hanya berkisar US$55 juta.
"Jika harga kesepakatan adalah US$500 juta untuk enam Sukhoi, ini artinya harga persatuan Sukhoi adalah US$83 juta," jelas Al Araf.
Selain itu, terdapat kejanggalan pemerintah dalam pembelian enam pesawat tersebut yang menggunakan pihak ketiga. "Mengapa dalam pembelian enam Sukhoi terbaru, masih ada keterlibatan pihak ketiga/agen yang sebenarnya keluar dari semangat untuk melakukan proses pembelian/pengadaan alutsista melalui G to G?," kata dia.
Untuk diketahui, pemerintah telah menandatangani kontrak pembelian pesawat tempur Sukhoi 30MK2 sebanyak enam unit dari pemerintah Federasi Rusia sebagai bagian dari rencana pembentukan satu skuadron Sukhoi yang berbasis di pangkalan udara Hasanuddin, Makassar.
Sebelumnya, Indonesia telah memiliki sepuluh unit Sukhoi yang terdiri dari dua unit jenis SU-27SK, tiga unit jenis Su-27SKM dan dua unit jenis Su-30MK.
Pengadaan Sukhoi di atas adalah bagian dari upaya memodernisasi alutsista untuk periode 2010-2014 yang diperkirakan menelan anggaran hingga Rp149,78 triliun.
Rinciannya, untuk pengadaan alutsista sebesar Rp87,32 triliun, perawatan/pemeliharaan alutsista Rp62,46 triliun, untuk tahun 2010 dialokasikan Rp23,10 triliun, tahun 2011 Rp32,29 triliun, tahun 2012 Rp29,66 triliun, tahun 2013 sebesar Rp32,58 triliun dan tahun 2014 sebesar Rp32,15 triliun.
Sumber: itoday
Habis Orruda Terbitlah Woomera
-
Diplomasi militer Indonesia beberapa pekan ini memperlihatkan kapabilitas
non bloknya. Angkatan Laut Indonesia baru saja menggelar latihan gabungan
denga...
1 minggu yang lalu